TUTURUS
Manusia memang diciptakan tidak lepas dari apa yang dinamakan masa depan. Perjalanan ini panjang untuk dilalui, banyak yang kita harus raih untuk membangun masa depan. Kemana arah kita melangkah maka itu akan menentukan akan menjadi apa kita kelak. Berawal dari rencana yang tak terduga, kupilih jalan untuk mencari kehidupan. Dimana aku dapat mendewasakan diri, membuat hidup lebih mandiri dan tentunya ilmu kehidupan yang kuharapkan lebih banyak. Menjadi guru meskipun gadungan adalah panggilan jiwa no dua setelah panggilan jiwa untuk mengabdi dan beribadah pada tuhan, begitu kata sebagian pendapat orang yang selama ini mengembangkan sekolah alternative untuk kalangan kaum lemah. Dan itu terasa olehku sekarang, dimana ku mempunyai tugas dan sekaliguis panggilan tersebut. Sebelumnya aku pernah menjalani hal itu selama kurang lebih tiga tahun. Dan itu membuatku menyadari bahwa diriku masih kurang tepat untuk disebut manusia pembelajar. Apalagi untuk mengajar. Namun tekad membuatku berada di sini (ciamis).
Berawal dari tujuan kewajiban yaitu mengajar aku berangkat ke kota itu. Selain mengajar, memperdalam ilmu pertanian adalah sampingan dan satu lagi adalah yang menunjang kita dalam perjuangan yang sedang kita lakukan
yaitu memperdalam ilmu tentang land reform. Selain itu menjadi mahasiswa adalah tujuan nomor tujuh dari 100 pilihan. UT atau Universitas Terbuka adlah motivator kami, tapi aku tak begitu tertarik akan hal itu. Yang membuat aku tertarik adalah belajar LAND REFORM. Menjadi mahasiswa tak akan membuatku bangga. Mengapa aku mengemukakan hal itu, karena aku sudah jengkel dan pusing mikirin dan melihat realita yang terjadi sekarang. Dimana ilmu sudah tak dihargai lagi dan itu terkalahkan oleh uang. Dalam artian ilmu (ijasah, hilai) bisa dibeli dengan uang, asalkan kita mampu. Itu bukti bahwa pendidikan di Indonesia sudah dikapitalisasi dimana hanya orang yang punya uang, yang bisa mendapatkan pendidikan. Selain itu juga kebanyakan dari mereka yang sudah menyelesaikan studinya menjadi penindas dikampungnya sendiri atau di dalam gedung bertingkat di ibu kota. Yang serig kita sebut penindasan sruktural dan sistematis. Atas dasar itulah, mengapa aku tidak memutuskan untuk masuk kuliah.
Keputusan yang kuambil tidak selamanya sefaham dengan apa yang difikirkan orang lain. Dan disitu aku dituntut untuk bias menghargai dan mempertimbangkan fikiran/pendapat orang lain. “bagaimanapun kamu harus bisa mendisiplinkan akademismu karena hanya dengan cara itu perubahan akan terjadi, karena kalau kita masih tetep begini tidak pernah ada perubahan yang signifikan. Jangankan untuk orang lain untuk diri sendiri pun akan
susah. Selain itu juga, masa depan menuntut kamu, kalau kamu tidak mempunyai disiplin akademis kita akan ditinggalkan zaman
Selalu ada dua persimpangan dalam menentukan pilihan, yang ke satu adalah arah benar, yang tentunya harus ku ambil, yang ke dua jalan yang hanya menampilkan kesenangan sejenak. Memilih merupakan hal yang paling aku benci. Salah memilioh maka kita tidak akan pernah bias kembali, kecuali mengambil persimpangan di depan, ketika kita sudah terlanjur capek dengan pilihan awal yang kita pilih. Kebanyakan orang mengambil poin nomor dua termasuk aku. Namun belum terlanjur untuk kembali. Karena aku memilih keputusan itu dengan penuh petimbangan dan memprediksi semua kemungkinan yang akan terjadi pada diriku atas pilihan yang aku ambil.
Dua bulan kemudian pilihan itu kuambil kembali, aku kembali dengan harapan kemantapan hatiku sudah sempurna, apalgi sekrang aku bawa adikku yang pindah krena persoalan pelik yang terjadi di sekolah asalnya. Ada perasaan berbeda ketika aku datang kali ini. Karena mungkin sudah tahu medan yang kan dihadapi. Malam pertama pas aku datang langsung ditawarin less kelas tiga, padahal pada waktu aku pertama kali ke sini aku sangat-sanat pesimis untuk mengajr kelas tiga. Tapi sekarang biasa-biasa saja tidak ada beban.
Lahan garapan yang direncanakan akan digarap sudah mulai dibuka ketika aku pulang 2 bulan yang lalu. Bahkan sudah di tata, namun penataannya kurang begitu memuaskan. Mungkin karena capek atau kurang berestetika. Sebetulnya untuk menggarap lahan sudah kami rencanakan pada waktu aku pertama ke sini. Mulai dari mau nanam apa, gimana pengurusannya, sampai tek-tek bengek biaya yang akan dihabiskan, analisnya. Berapa hari umurnya, parietas mana yang basu, dan sebagainya. Berapa banyak Pupuk yang akan dipakai, yang akan dibuat ( organic) dan itu semua kami tanyakan kepada Pak Aceng. Orang yang memang dipercaya dan sudah ahli dalam bidang itu. Bahkan dia mengajar di SMP Plus Pasawahan.
Seminggu tepat aku berada di tempat ini. Minggu pagi dengan cuaca mendung, aku dan Agil menuju lahan garapan dengan tujuan untuk menanam kacang panjang tersebut. Kami merasa terlambat, karena kalau SMP sudah dari minggu kemarin. Tapi kami menglami kendala, ternyata lahan yang sudah diolah terbengkalai agak lama, jadi tentunya banyak rumput yang tumbuh dengan asyiknya di lahan itu. Apalagi lahan itu sudah diberi pupuk organic. Terpaksa dan memang harus, mau gak mau rumput itu harus dibersihkan untuk kelancaran sang kacang panjang. Ditengah-tengah kita menanam, tiba-tiba Haer datang sambil bernyanyi-nyanyi. Setelah bersapa ria Dia pun ikut menanam kacang tersebut. Kita asyik dengan pekerjaan ini
apalagi ditambah hujan yang besar mengguyur kami. Kami merasa menjadi anak-anak kecil, bermain tabah dengan asyiknya, sehingga baju yang kami pakai semua penuh lumpur. Selanjutnya Reni dan Sohib menyusul setelah hujan reda dengan membawa benih kacang. Kami mulai membagi tugas aku dan Haer membuat lubang (ngaseuk :bahasa sunda) dan yang lainnya menyimpan benih kacang disetiap lubang dengan masing-masing lubang berisi maksimal 3 biji.
Jam Sembilan pekerjaan kami beres, kami pun menuju kantor untuk makan dan sekaligus istirahat,….. tiba-tiba fikiran efektif kami berfungsi, dari pada kami diam tak berarti. Kita punya waktu tiga jam lagi menunggu dzuhur. Lebih baik kita gunakanuntuk berkerja tapi apa ya. Kata temanku.
“daripada kita diam mendingan kita ngala bambu untuk tuturus”, kata khaer
“ Ok, benar juga itung-itung mengefektifkan waktu”, sambung sohib.
Kita segera mencari peralatan yaitu golok. Kami belum tentu arah kemanakan kita akan ngala bambu itu. Kami bingung, kepada siapa dan punya siapa bambu itu. Akhirnya atas kesepakatan dan pengalaman kemarin-kemarin dan berdasarkan cerita anak-anak kita akan ngala bambu ke munggang wareng punya salah satu sisWa SMK. Yaitu punya Sartiwi. Kamipun bergegas ke sana. Di sepanjang perjalanan kami mengatur strategi siapa yang minta izin, siapa yang meminjam golok satu lagi, akan bagaimana prosesnya. Kami diskusikan semua dijalan hingga kami mendapat kesimpulan pembagian kerja. Masalah bambu kita sekarang hanya menebang dan untuk mengangkutnya minggu besok pokoknya jangan sampai kacang merambat duluan. Kami menebang tiga pohon bambu, tapi capeknya minta ampun dari mulai menentukan mana yang kaan ditebang. Karena yang ditebang harus memenuhi syarat yaitu sudah tua supaya tidak cepat lapuk. Dilanjutkan dengan menarik bambu tersebut supaya terjatuh. Kata orang tua menebang bambu harus punya feeling dan ilmunya kalau tidak bisa-bisa semua bambu yang ada di sana ditebang. Dan memang benar, kalu kita tidak dengan fikiran yang matang akan kacau. Karena kan bambu itu jaraknya dekat-dekat jadi ketikakita tebang otomatis terjepit satu sama lain dan idsitulah skill kita digunakan.
Selain itu merangnya juga minta ampun gatalnya, ditambah cuaca panas aduhhh haus banget. Tak jarang kata-kata menyesal dan putus asa keluar dari mulut kami bahakan yang kasar sekalipun. Tapi itu tidak dari hati yang paling dalam. Itu cuma refleks aja terhadap keadaan. Untuk mendapatkan tiga pohon perlu perjuangan yang keras dan melelahkan. Akhirnya, terkumpulllah tiga batang pohon bambu, perjuangan tidak sampai disitu, bambu itu harus dipotong-potong 2 meteran dan di angkut ke tempat yang strategis. Bambu yang tiga tadi hail akhirnya menjai 8 potong. Badan kami sudah terasa sangat lelah dan teramat haus, tanpa kami pedulikan bambu itu kami simpan di sekitar situ dan rencana kami selanjutnya adalah pulang.
Sebelum pulang, kami istirahat dulu di rumahnya Sartiwi melepas lelah dan menghilangkan dahaga. Tentunya dengan kelapa muda yang tersedia di pohon dan tawaran dari Sartiwi itu sendiri serta dukungan orang tuanya. Sohib yang turun tangan untuk menaiki kelapa, karena kami tiddak bisa an sudah kelelahan. Katika sampai itenggorokan, Air kelapa muda itu terasa nikmat banget karena diminum pas kita haus. Lelahpun lenyap, dahaga sudah tidak ada namun perjalanan pulang menanti di depan. Kami langkahkan kaki menuju sekolah lagi dengan harapan beban kami mejadi berkurang. Meski masih banyak yang harusnya kita kerjakan. Tapi itu akan terselesaikan bersama waktu yang terus berjalan dan keeyakinan yang terus kia tanamkan.
Pengalaman pertama sungguh mengesankan. Tidak dapat tergantikan oleh apapun sekalipun dengan emas yang bertumpuk-tumpuk. Satu hikmah yang aku ambil, hidup ini penuh persimpangan dan kita harus mengambil salah satunya. Selain jalan kita yang berliku, banyak orang lain juga yang harus kita luruskan. Disini Kita harus berfungsi sebagai tuturus yaitu meluruskan dan memberi jalan/arah kapada tanaman/makhluk hidup yang ada didekatnya supaya terarah dan menghasilkan sesuatu. Meski halangan dan rintangan pasti ada dan bahkan banyak. Dan itulah tantangan kita untuk bisa hidup. Karena semuanya berawal dari tantangan.
Filosofi yang sederhana yang muncul dari kebun bambu. Tapi membuatku berefleksi. Tuturus bisa meluruskan dan menjadi jalan bagi tanaman. Mengapa aku tidak ? Tapi tenang aku disini dalam proses itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thankz