AKU AKAN PERGI
Tahun ajaran baru
menyambutku dengan berbagai tantangan dan harapan. Orang lain sibuk mencari
Universitas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Aku
masih bingung, apa yang akan kulakukan. Karena aku sudah dua tahun lulus dari
SMA. Dan ini masa transisi aku hidup di Garut.
Langkah selanjutnya yang
belum tentu, akan menentukan jalan hidupku. Aku belum punya planing. Tetap
mengajar di Garut atau tidak mengajar dan tetap di Garut. Hanya itu pilihan
waktu itu.
Selama ini aku domisili
di Garut, empat hari untuk Sekolah Mts. Sururon sisanya antara rumah Ummi dan
YAPEMAS (Yayasan Pengenmbangan Masyarakat). Suatu yayasan yang didirikan oleh
SPP (Serikat Petani Pasundan) yang bertempat di Jl. Raya Samarang No. 108 A.
cukup jauh dari pusat kota.
Pagi yang cukup cerah di
bulan Juli, membuatku bebas pergi melenggangkan kaki kemanapun. Pagi ini
rencananya aku main ke YAPEMAS. Meski tak ada rencana kerja yang akan ku
kerjakan, tapi minimal aku bisa mengupdate informasi terbaru dari koran.
Berjalan kaki lima belas
menit di pagi hari, cukup menyegarkan. Sedikit keringat yang keluar. Kilau
matahari di sepanjang jalan membuatku harus menempelkan tanganku di kening
seperti orang menghormat. Aku tak pernah peduli dengan lalulalangnya mobil dan
motor. Tapi satu hal aku benci, asap kendaraan dan klakson.
Di YAPEMAS hanya
sebagian orang yang sudah bangun. Sementara sebagian lagi masih asyik dengan
selimutnya (tak menghiraukan sinar mentari pagi). Di meja, sudah tergelatak
beberapa koran seperti KOMPAS, PR, dan Radar Garut. Aku melihat-lihat koran
tersebut tanpa kubaca isi keseluruhanya.
Seseorang menghampiriku,
Yasa namanya, Alumni Mts. Sururon angkatan pertama yang baru saja lulus dari
SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) Garut.
“Aku bingung ?”
“Kenapa ?”
“Dulu ketika belum lulus SPMA, bingun takut gak lulus ujian. Sekarang,
ujian sudah lulus bingung mau kemana. Pengennya kuliah, tapi entahlah, rasanya
tidak mungkin”
“Ada beberapa pilihan mungkin ?”
“Ya sih ada, tapi itu juga membuat bingung. Kita, angkatan pertama Mts
Sururon yang melanjutkan ke SPMA ditawarin untuk kuliah di UT (Universitas
Terbuka). Terutama yang belum pasti mau kemana nasibnya. Kalau Siti Aminah
sudah pasti di akan ke Tasik, ke UNSIL. Nah kita (Yasa, Siti Halimah, Sata,
Sehab, Abd. Hamid juga Deni bingung. Karena kalau kita ikut UT kita harus
berdomisili di Ciamis sambil bantu-bantu mengajar di sekolah yang sama
didirikan oleh SPP.”
“Lalu apa masalahnya ?”
“Nah kalau kita ke Ciamis ada beberapa pertimbangan, pertama kita sudah
berjanji untuk kembali lagi ke Sururon, dalam hal ini mengajar. Ke dua kita
juga ingin berdomisili di Garut dan berpartisipasi atau bergabung dengan FPPMG
karena kami rasa kalau kita pergi ke sana hanya sedikit orang yang di FPPMG.
Yang lebih parahnya, hari ini adalah hari dimana kami harus memutuskan apakah
kita pergi ke Ciamis atau tetap di Garut. Ngomong-ngomong kamu akan tetap di
Sururon atau gimana?. Atau punya rencana kuliah lagi setelah kemarin keluar
dari Musadadiyyah? ”
“Tak tahulah mungkin aku menarik diri dari Sururon dan masuk di SMK nya.”
Satu persatu penghuni YAPEMAS bangun dan melakukan aktifitas rutin
mereka. Ada yang mandi lantas memanjakan diri dengan menjemur badan di bawah
sinar matahari sambil membaca koran. Sayang tidak ada kopi. Ada yang mengepel
lantai. Dan ada pula yang memasak.
Pembicaraan tadi membuatku memberi sedikit pencerahan walau aku tidak
termasuk kandidatnya. Aku harap bisa
masuk kandidat meski aku bukan lulusan Mts. Sururon dan sudah dua tahun blank.
Sore harinya aku pulang dengan cara yang sama, jalan kaki. Tak disangka
di rumah aku di tanya sama Ummi.
“Don mau gak ke Ciamis?”
“Ngapain?
“ya, ngajar atuh”
“dengan siapa?”
“Dengan temen Sururon, sambil kuliah sih. Cuma kuliahnya di UT jarak jauh”
“Gimana ya ?”
“Ya silahkan difikirkan aja. Keputusan ada di tangan kamu. Kalau ingin
lebih jelasnya nanti tiga hari ke depan kita semua akan berkumpul di Sarimukti
untuk membahas itu. Temen-temen sururon juga masih belum pasti apakah mau ikut
atau tidak.”
“Ya aku pikirkan dulu dan mungkin perlu juga beberapa
pertimbangan/nasihat dari beberapa orang.”
Tibalah pada hari dimana kami berkumpul untuk memutuskan siapa yang akan
pergi ke Ciamis dan diam di Garut dengan pilihannya. Kami pergi dengan
rombongan menuju Sekolah Mts. Sururon. Tak usah kuceritakan betapa indahnya
perjalanan dengan berbagai macam sayuran terpampang di sepanjang jalan. Dan
asap yang mengepul di puncak gunung Kamojang (kawah Darajat). Satu jam waktu
yang kami butuhkan untuk sampai di Sarimukti.
Kawan yang lain sudah berkumpul menunggu kami di sebuah bangunan yang
terbuat dari kayu. Yang berdiri kokoh di
atas kolam. Kami keluar dari mobil rombongan, sudah kebiasaan orang sunda kami
bersalaman. Basa basi dan langsung memasuki kelas.
Cukup banyak yang hadir pada waktu itu. Sebagai kandidat terbanyak adalah
alumni Sururon yang baru lulus dari tingkat SMA. Aku sudah cukup mengenal
mereka. Kandidat yang baru adalah Sohib, Kamal, Iip, Excel, Abang dan Sehab.
Mereka lulusan dari Fauzan plus pesantrennya. Tak heran kalau mereka semua pake
kopeah dan sarung. Cukup menandakan bahwa mereka lulusan pesantren. Dan hidup
sehari-harinya di lingkungan pesantren.
Sementara tim yang akan merekrut kami adalah Mas Oji, Bang Boy, Teh
Linda, Mbak Laksmi dan Didi. Kepala sekolah Mts berikut pimpinan PONPES ikut
hadir.
Kulihat wajah-wajah bingung di raut muka para kandidat. Entah apa yang
sedang difikirkannya. Apakah pertimbangan ikut atau tidak. Atau bingung mencari
alasan untuk tidak pergi ke Ciamis.
Acara dibuka oleh pimpinan PONPES. Selanjutnya langsung ke pokok
persoalan. Masing-masing dari kita ditanya satu persatu. Mau kemana, ngapain
berikut kemanfaatan beserta alasan dari jalan yang diambil/dipilih. Kita pun
menceritakan pilihan yang kita ambil.
Kesimpulannya, banyak dari mereka memilih jalan yang berbeda dengan
beberapa alasan yang berbeda pula. Yang tadinya mau ikut juga ada yang
mengundurkan diri.
Para mentor kami mencoba memberi penjelasan dan semangat lagi, juga
beberapa pertimbangan terhadap jalan yang mereka ambil. Dan tentunya kenapa
mereka menunjukan UT sebagai solusi.
Aku termasuk yang memilih unutk masuk UT dan ikut ke Ciamis. Tapi tujuan
utama adalah ikut ke Ciamis. Untuk UT masih belum terpikirkan. Lalu para mentor
menjelaskan mengapa mereka menunjukan jalan seperti itu.
“ ceng, kita tidak memaksa kalian untuk mengikuti apa yang kami sarankan
cuma ada beberpa hal yang perlu dipertimbangkan. Kenapa kita memilih ke Ciamis
dan masuk UT. Pertama, sebenernya kita cuma pengen menyelamatkan generasi kalian
supaya tidak berpencar dan tetap pada jalan yang sedang kita perjuangkan
bersama-sama. Kedua, ada banyak orang yang sukses dan teratur dari lulusan UT.
Kenapa, karena kalau UT merek belajar sendiri. Kalau mereka tidak bisa
memanagment waktu maka sepuluh tahun juga tidak akan lulus. Beda dengan
universitas biasa yang hanya bisa diselesaikan dengan uang dan daftar hadir.
Mereka tak peduli kalian mau jadi apa. Coba fikirkan ujian kalian bisa lihat
buku, bisa lihat dari internet. Apa yang mereka didik ?. Dan paling kalian
menjadi mental pegawai, ujung-ujungnya PNS, gak bakalan jauh kok. Belum lagi
biaya, terutama biaya kehidupan. Coba kalian kalikan. Nah kalau di Ciamis ada
beberapa pilihan dan manfaat kalian diam di sana. Selain kalian bisa belajar
sendiri tanpa dosen, biaya kuliah cukup murah dibanding universitas biasa.
Kalian juga bisa mengolah lahan untuk biaya hidup kalian dan latihan menempa
diri kalian. Selain itu juga kalian bisa menjadi tenaga pengajar di sana di SMP
PLUS PASAWAHAN.”
Mereka diam membisu, aku yakin
mereka bingung. Mau melawan/komentar gimana. Mau mengiyakan tidak mau juga
“Ok, kita tidak memaksa, apapun
keputusan kalian saya menghargai kalian. Yang penting kalian tetap sayang pada
rakyat kecil. Nah untuk yang mau berangkat dua hari dari sekarang, kalian
berangkat. Persiapkan apa saja yang harus di bawa. Disana kalian akan bertemu
Eful dan yang lainnya”.
Untuk diriku sendiri aku punya
alasan tersendiri. Kenapa aku akan pergi.
Rasanya aku baru di cas
dan diberi lampu dalam gelapnya tujuan dan langkah mau ke mana. Aku
mengutarakan keputusan yang kuambil dan mereka mengijinkan. Bahkan mendukung
dengan alas an kalau misalkan tetap di Garut juga tidak begitu efektif.
Matahari menyambut pagi
dengan nyanyian burung. Padi mulai menguning di sekeliling rumah mengantar
langkahku mengores embun pertama. Dengan sepatu di tangan kananku, tas yang
cukup besar karena memuat pakaian layaknya orang mengungsi atau pindah rumah. Lambaian
tangan terakhir kulihat sebelum aku masuk gang rumah komplek STKIP garut yang
cukup padat. Aku berharap ini bukan lambaian terakhir. Kulangkahkan kaki menuju
YAPEMAS untuk bergabung dengan kawan yang sudah menunggu.